Ada sebuah cerita yang akan saya pos kan di sini, yang dikutip dari sebuah novel tentang bulutangkis karya Donny Dhirgantoro dengan judul novelnya 2. semoga Anda suka ^^.
Selayak
malam beratapkan bintang, Indonesia cerah sekali malam itu, ribuan bintang
menyebar indah. Tidak seperti biasanya jalanan Jakarta sedikit lengang, hanya
satu-dua kendaraan yang lewat. Malam itu tidak cuma warga Jakarta, tetapi
seluruh rakyat Indonesia sebangsa dan se-Tanah Air memilih berdiam di ruang
keluarga dan duduk di depan televisi masing-masing malam ini.
“Saudara- saudara sebangsa dan
se-Tanah Air…inilah saat-saat yang dinantikan seluruh Bangsa Indonesia.
Dilaporkan langsung dari Olimpiade Barcelona 1992…”
Suara
televisi terdengar keras dari sebuah rumah kecil di sudut Jakarta. Rumah mungil
itu mempunyai halaman depan yang asri dengan sebuah pohon mangga di sudut
halamannya, dari dalam rumah terdengar suara-suara aneh diselingi suara tawa
anak kecil.
“IN…DO…NE…SIA…!”
Ngik…ngek…ngik…ngek…ngik..ngik
“IN…DO…NE…SIA…!”
“Hihihi…
hihihi….”
“Apakah Susi berhasil merebut emas
pertama bagi Indonesia di Olimpiae? Sebuah pencapaian besar di dunia olahraga
untuk Indonesia…”
“IN…DO…NE…SIA…!
IN…DO…NE…SIA…!”
Ngik…ngek…ngik…ngek…ngik..ngik…
“Hihihi…
hihihi….”
Suara
komentator pertandingan diselingi suara tawa renyah dari rintihan per sofa tua
yang sudah reyot. Tepat di atas sofa seorang anak perempuan gendut berusia enam
tahun melonjak-lonjak seperti bola karet besar, rambutnya dukuncir dua, pipinya
besar dan merah seperti dua buah apel. Ia memakai baju warna merah jambu,
serasi sekali dengan kulitnya yang putih bersih. Badannya besar dan bulat
sempurna. Tangannya memegang kue tart, wajahnya yang penuh dengan pipinya
sendiri juga penuh krim kue tart. Anak perempuan besar itu terus meloncat
meniru gaya pemain bulutangkis di televisi.
“IN…DO…NE…SIA…!!!
SMASH!!!”
NGIK!
Anak perempuan
itu meloncat lagi.
“IN…DO…NE…SIA…!”
NGEK! Sofa
tua itu merintih-rintih, ada makhluk mahabesar meloncat-loncat di atasnya. Sofa
keberatan, keberatan dalam arti
kalimat dan dalam arti sebenarnya. Tepat di depannya anggota keluarga lain
sedang asyik menonton pertandingan bulutangkis di televise. Disbanding anggota
keluarga lain yang berbadan kurus, anak perempuan bulat dan lincah itu terlihat
unik sendiri membal-membal.
“Gusni…
jangan loncat-loncat di atas sofa Nak, nanti sofanya rusak…” Mama
memperingatkan Gusni lagi asyik loncat-loncat. Mama menggelengkan kepalanya,
seperti ada kulkas kecil merah jambu loncat-loncat di atas sofa.
“Sofanya
lucu,… bisa bunyi-bunyi, Ma…,” jawan Gusni tidak peduli. Rambutnya yang
dikuncir dua ikut meloncat-loncat riang. Muka yang isinya pipi semua juga
ikutan ndul-ndulan elastis.
“Gusni….”
Mama melirik memintanya berhenti. Gusni berhenti sebentar. Nyengir ke Mama lalu
meloncat-loncat lagi sambil masih terus makan kue, tangan dan wajahnya belepotan.
“Papa!
Gusni tuh….nggak nurut sama Mama,” Mama mengeluh ke Papa yang terlihat tegang
menonton pertandingan di televisi. Papa hanya diam, Mama mendengus sebel.
Seorang anak perempuan berusia 10 tahun duduk bersila di depan Papa, dekat
sekali dengan televisi. Matanya yang tajam tidak lepas mengikuti jalannya
pertandingan.
“Lagi-lagi pindah bola,
Saudara-saudara… Susi masih menyisakan tenaga untuk melawan Bang Soo Hyun. Susi
serve… pengembalian bola yang bagus… kembali lob-lob panjang dari Susi…”
Komentator
begitu bersemangat melaporkan pertandingan. Ruang tengah rumah mungil itu
diliputi ketegangan yang belum juga berakhir, helaan napas jelas terdengar
tegang.
“Ayo
SMASH! SUSI!” Papa berteriak penuh
semangat.
“Ayo
CMASH SUSI!” Gusni ikut berteriak mengikuti Papa meloncat tinggi di atas sofa,
NGEK! Kasihan sofanya.
Papa
dan Mama geleng-geleng melihat kelakuan Gusni.
“BRISIIIK…!”
Gita yang sedang serius menonton televisi menoleh cepat ke belakang membentak
adiknya.
“BBBRRRRRWWWWEEEE….”
Gusni langsung membalas mencibirkam bibirnya tapi Gita melotot marah melihat
Gusni, melotot kesal dibals dengan cibiran bibir lagi. Gita melotot kesal dan
melanjutkan menonton, Papa Mama bertatapan geli.
“Susi tampak begitu sabar melayani
lob-lob panjang, pertandingan yang sangat menegangkan Saudara-Saudara…”
Ketegangan
terus berlanjut di seluruh Nusantara melihat pertandingan di televisi.
“Ayo
Susiii…! Kamu bisa… “IN…DO…NE…SIA!”
“IN…DO…NE…SIA…!!!”
Papa berteriak-teriak penuh semangat.
Gusni
dengan senangnya ikut berteriak. “IN…DO…NE…SIA…! IN…DO…NE…SIA…! Gita lagi-lagi
menoleh sesaat kebelakang, sebel melihat kelakuan Gusni. Papa dan Gusni ketawa
cekikikan melihat Gita.
“IN…DO…NE…SIA…!”
NGIK.
“IN…DO…NE…SIA…!”
NGEK.
Gusni
tambah semangat, berteriak sambil meloncat-loncat.
“Pemirsa di seluruh Nusantara!
Sekali lagi inilah saatnya… pindah bola untuk Susi… apabila Susi Susanti
berhasil meraih poin maka bangsa ini
akan mendapat medali emas pertama di olimpiade…sesuatu yang sudah kita tunggu
hampir 35 tahun lamanya…”
Papa
dan Gita menarik nafas panjang mendengar komentar pertandingan. Mama ikutan
tegang. Sofa tua bernafas lega, rintihannya sudah tidak terdengar. Gusni sudah
tidak meloncat-loncat lagi, ia duduk di samping Papa dan Mama, memperhatikan
pertandingan dengan serius.
“Susi serve… lob dari Bang Soo
Hyun… backhand Susi… dikembalikan lagi oleh Bang Soo Hyun.. drop shot lagi dari
Susi!!!”
“AYO!
SUSIII!!!”
Papa
sampai hampir terlonjak dari duduknya saking tegangnya. Gita kaget dan menoleh
ke Papa galak. Papa nyengir. Gusni mencibir lagi ke Gita.
“Masih bisa dikembalikan oleh Bang
Soo Hyun… Susi mengajak rally lagi… drop shot Susi… masih bisa Bang Soo Hyun…
mereka main bola-bola pendek sekarang… saudara-saudara sangat menegangkan…
sangat menengangkan…”
Semua
yang ada di ruang tamu menahan nafas, pertandingan final bulutangkis ini sangat
menegangkan. Bukan hanya di rumah mungil ini, mungkin saat itu seluruh rakyat
Indonesia diliputi ketegangan. Pertandingan yang akan berbuah emas pertama dari
Olimpiade untuk Indonesia, hanya tinggal beberapa saat lagi jika Susi Susanti
bisa memenangkannya. Untuk pertama kalinya Gusni melupakan kuenya yang masih
ada di tangannya. Ia ikut terbawa ketegangan.
Beberapa
kali Mama dan Gusni menutup wajahnya, pertandingan bulutangkis memang bisa
sangat menegangkan, kok bulu angsa itu terbang ke sana kemari dengan cepatnya,
semuanya akan berakhir begitu saja saat kok jatuh, kemenangan atau kekalahan
semuanya hanya dalam hitungan detik. Papa beranjak ke depan televise, bersila
di samping Gita. Mama memeluk Gusni, dengan mata yang tak berkedip menatap kok
yang mesih berpindah-pindah dengan cepat. Susi Susanti terlihat sangat lelah,
tetapi malam itu dari Sabang sampai Merauke tidak ada yang menyangsikan
semangat Susi bertanding malam itu.
“… Bang Soo Hyun mengajak bermain
bola-bola pendek lagi… bisa dikembalikan oleh Susi… bola tinggi… drop shot dari
Bang Soo Hyun di depan net… dan jatuh dilapangan permainan Susi…
SAUDARA-SAUDARA!!! OUT! KELUAR! OUT!!!”
Dan…
(Bersambung...)
nantikan kelanjutan ceritanya.