Indonesia
mencatat sejarah terburuk dalam penampilannya di piala Thomas. Untuk pertama
kalinya dalam sejarah sejak Thomas Cup digelar pertama kali pada 1948,
Indonesia yang pernah 13 kali juara dan 5 kali runner-up harus pulang lebih awal. Dengan koleksi gelar itu,
Indonesia masih unggul lima kali dari tuan rumah China yang baru mengoleksi
delapan gelar saja. Prestasi terburuk tim Thomas sebelumnya ialah tersinggir
empat kali sebagai semifinalis pada 1990, 2004, 2006, dan 2008.
Tim
Jepang lah yang menyingkirkan Simon Santoso dkk dengan skor 2-3. Dionysius
Hayom Rumbaka yang turun sebagai pemain terakhir gagal mempersembahkan poin
setelah tunduk 14-21, 19-21 kepada Takuma Ueda dalam waktu 52 menit. Hayom pun
meminta maaf kepada seluruh rakyat Indonesia, karena ia tidak dapat meloloskan
Indonesia ke semifinal. Manajer Tim Thomas-Uber Indonesia M. Feriansyah juga
meminta maaf atas kelalahan Indonesia kali ini.
Mantan
juara dunia tunggal putra Joko Suprianto menegaskan, kegagalan Indonesia di
pentas Thomas-Uber Cup 2012 sepenuhnya menjadi tanggung jawab Pengurus Besar
Persatuan Bulu Tangkis Indonesia (PB PBSI). Pemain tidak bisa disalahkan karena
mereka merupakan produk dari sebuah kepengurusan. Joko mengungkapkan salah satu
kesalahan PB PBSI ialah membiarkan banyaknya pemain titipan. Padalah kualitas
para pemain titipan tersebut meragukan. Hal-hal seperti itu harus dipangkas.
PBSI harus objektif dalam membina pemain. Pemerintah juga diharapkan membantu
dengan membuat training camp di berbagai
daerah dan memiliki fasilitas yang layak.
Kalau
Joko menuding PBSI yang bertanggung jawab, Ketua Umum PB PBSI Djoko Santoso
justru menilai para pemain kurang agresif. Terkait dengan hasil yang
mengecewakan itu, Djoko menegaskan akan mengeveluasi permainan tim secara
keseluruhan. Berbeda dengan mantan atlet ganda putra Sigit Buadiarto, ia tidak
ingin menyalahkan siapa-siapa kendati menyoroti lambatnya regenerasi dan
kurangnya persiapan pemain sebagai faktor kekalahan.
Sejarah
buruk bulu tangkis kali ini menjadi penegas bahwa kita memang tengah dibelit
krisis, yakni krisis kepemimpinan dan regenerasi. Celakanya, para pemangku
kepentingan bulu tangkis, termasuk Menteri Pemuda dan Olahraga, seperti tidak
mengetahui, atau pura-pura tidak tahu, keadaan krisis tersebut.
Mereka
bekerja seperti biasa, seolah-olah tidak sedang terjadi apa-apa di bulu tangkis
kita. Regenerasi pemain tidak dipersiapkan secara serius, bahkan kompetisi di
berbagai daerah berlangsung tanpa greget. Alih-alih mengevaluasi mengapa kekalahan
terburuk itu bisa terjadi, pucuk pimpinan bulu tangkis malah menyahkan pemain
dengan menyebut mereka bertanding kurang motivasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar