Jumat, 08 Juni 2012

SEJARAH TERBURUK INDONESIA DALAM BULUTANGKIS


Indonesia mencatat sejarah terburuk dalam penampilannya di piala Thomas. Untuk pertama kalinya dalam sejarah sejak Thomas Cup digelar pertama kali pada 1948, Indonesia yang pernah 13 kali juara dan 5 kali runner-up harus pulang lebih awal. Dengan koleksi gelar itu, Indonesia masih unggul lima kali dari tuan rumah China yang baru mengoleksi delapan gelar saja. Prestasi terburuk tim Thomas sebelumnya ialah tersinggir empat kali sebagai semifinalis pada 1990, 2004, 2006, dan 2008.

Tim Jepang lah yang menyingkirkan Simon Santoso dkk dengan skor 2-3. Dionysius Hayom Rumbaka yang turun sebagai pemain terakhir gagal mempersembahkan poin setelah tunduk 14-21, 19-21 kepada Takuma Ueda dalam waktu 52 menit. Hayom pun meminta maaf kepada seluruh rakyat Indonesia, karena ia tidak dapat meloloskan Indonesia ke semifinal. Manajer Tim Thomas-Uber Indonesia M. Feriansyah juga meminta maaf atas kelalahan Indonesia kali ini.

Mantan juara dunia tunggal putra Joko Suprianto menegaskan, kegagalan Indonesia di pentas Thomas-Uber Cup 2012 sepenuhnya menjadi tanggung jawab Pengurus Besar Persatuan Bulu Tangkis Indonesia (PB PBSI). Pemain tidak bisa disalahkan karena mereka merupakan produk dari sebuah kepengurusan. Joko mengungkapkan salah satu kesalahan PB PBSI ialah membiarkan banyaknya pemain titipan. Padalah kualitas para pemain titipan tersebut meragukan. Hal-hal seperti itu harus dipangkas. PBSI harus objektif dalam membina pemain. Pemerintah juga diharapkan membantu dengan membuat training camp di berbagai daerah dan memiliki fasilitas yang layak.

Kalau Joko menuding PBSI yang bertanggung jawab, Ketua Umum PB PBSI Djoko Santoso justru menilai para pemain kurang agresif. Terkait dengan hasil yang mengecewakan itu, Djoko menegaskan akan mengeveluasi permainan tim secara keseluruhan. Berbeda dengan mantan atlet ganda putra Sigit Buadiarto, ia tidak ingin menyalahkan siapa-siapa kendati menyoroti lambatnya regenerasi dan kurangnya persiapan pemain sebagai faktor kekalahan.

Sejarah buruk bulu tangkis kali ini menjadi penegas bahwa kita memang tengah dibelit krisis, yakni krisis kepemimpinan dan regenerasi. Celakanya, para pemangku kepentingan bulu tangkis, termasuk Menteri Pemuda dan Olahraga, seperti tidak mengetahui, atau pura-pura tidak tahu, keadaan krisis  tersebut.
Mereka bekerja seperti biasa, seolah-olah tidak sedang terjadi apa-apa di bulu tangkis kita. Regenerasi pemain tidak dipersiapkan secara serius, bahkan kompetisi di berbagai daerah berlangsung tanpa greget. Alih-alih mengevaluasi mengapa kekalahan terburuk itu bisa terjadi, pucuk pimpinan bulu tangkis malah menyahkan pemain dengan menyebut mereka bertanding kurang motivasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar