Rabu, 25 April 2012

SEBUAH PERJUANGAN BESAR (Part 1)

Ada sebuah cerita  yang akan saya pos kan di sini, yang dikutip dari sebuah novel tentang bulutangkis karya Donny Dhirgantoro dengan judul novelnya 2. semoga Anda suka ^^.


Selayak malam beratapkan bintang, Indonesia cerah sekali malam itu, ribuan bintang menyebar indah. Tidak seperti biasanya jalanan Jakarta sedikit lengang, hanya satu-dua kendaraan yang lewat. Malam itu tidak cuma warga Jakarta, tetapi seluruh rakyat Indonesia sebangsa dan se-Tanah Air memilih berdiam di ruang keluarga dan duduk di depan televisi masing-masing malam ini.

“Saudara- saudara sebangsa dan se-Tanah Air…inilah saat-saat yang dinantikan seluruh Bangsa Indonesia. Dilaporkan langsung dari Olimpiade Barcelona 1992…”

Suara televisi terdengar keras dari sebuah rumah kecil di sudut Jakarta. Rumah mungil itu mempunyai halaman depan yang asri dengan sebuah pohon mangga di sudut halamannya, dari dalam rumah terdengar suara-suara aneh diselingi suara tawa anak kecil.

“IN…DO…NE…SIA…!”
Ngik…ngek…ngik…ngek…ngik..ngik
“IN…DO…NE…SIA…!”
“Hihihi… hihihi….”

“Apakah Susi berhasil merebut emas pertama bagi Indonesia di Olimpiae? Sebuah pencapaian besar di dunia olahraga untuk Indonesia…”

“IN…DO…NE…SIA…! IN…DO…NE…SIA…!”
Ngik…ngek…ngik…ngek…ngik..ngik…
            “Hihihi… hihihi….”

Suara komentator pertandingan diselingi suara tawa renyah dari rintihan per sofa tua yang sudah reyot. Tepat di atas sofa seorang anak perempuan gendut berusia enam tahun melonjak-lonjak seperti bola karet besar, rambutnya dukuncir dua, pipinya besar dan merah seperti dua buah apel. Ia memakai baju warna merah jambu, serasi sekali dengan kulitnya yang putih bersih. Badannya besar dan bulat sempurna. Tangannya memegang kue tart, wajahnya yang penuh dengan pipinya sendiri juga penuh krim kue tart. Anak perempuan besar itu terus meloncat meniru gaya pemain bulutangkis di televisi.

“IN…DO…NE…SIA…!!! SMASH!!!”
NGIK!
Anak perempuan itu meloncat lagi.
“IN…DO…NE…SIA…!”
NGEK! Sofa tua itu merintih-rintih, ada makhluk mahabesar meloncat-loncat di atasnya. Sofa keberatan, keberatan dalam arti kalimat dan dalam arti sebenarnya. Tepat di depannya anggota keluarga lain sedang asyik menonton pertandingan bulutangkis di televise. Disbanding anggota keluarga lain yang berbadan kurus, anak perempuan bulat dan lincah itu terlihat unik sendiri membal-membal.

“Gusni… jangan loncat-loncat di atas sofa Nak, nanti sofanya rusak…” Mama memperingatkan Gusni lagi asyik loncat-loncat. Mama menggelengkan kepalanya, seperti ada kulkas kecil merah jambu loncat-loncat di atas sofa.

“Sofanya lucu,… bisa bunyi-bunyi, Ma…,” jawan Gusni tidak peduli. Rambutnya yang dikuncir dua ikut meloncat-loncat riang. Muka yang isinya pipi semua juga ikutan ndul-ndulan elastis.

“Gusni….” Mama melirik memintanya berhenti. Gusni berhenti sebentar. Nyengir ke Mama lalu meloncat-loncat lagi sambil masih terus makan kue, tangan dan wajahnya belepotan.

“Papa! Gusni tuh….nggak nurut sama Mama,” Mama mengeluh ke Papa yang terlihat tegang menonton pertandingan di televisi. Papa hanya diam, Mama mendengus sebel. Seorang anak perempuan berusia 10 tahun duduk bersila di depan Papa, dekat sekali dengan televisi. Matanya yang tajam tidak lepas mengikuti jalannya pertandingan.

“Lagi-lagi pindah bola, Saudara-saudara… Susi masih menyisakan tenaga untuk melawan Bang Soo Hyun. Susi serve… pengembalian bola yang bagus… kembali lob-lob panjang dari Susi…”

Komentator begitu bersemangat melaporkan pertandingan. Ruang tengah rumah mungil itu diliputi ketegangan yang belum juga berakhir, helaan napas jelas terdengar tegang.

“Ayo SMASH! SUSI!” Papa berteriak penuh semangat.
“Ayo CMASH SUSI!” Gusni ikut berteriak mengikuti Papa meloncat tinggi di atas sofa, NGEK! Kasihan sofanya.

Papa dan Mama geleng-geleng melihat kelakuan Gusni.
“BRISIIIK…!” Gita yang sedang serius menonton televisi menoleh cepat ke belakang membentak adiknya.

“BBBRRRRRWWWWEEEE….” Gusni langsung membalas mencibirkam bibirnya tapi Gita melotot marah melihat Gusni, melotot kesal dibals dengan cibiran bibir lagi. Gita melotot kesal dan melanjutkan menonton, Papa Mama bertatapan geli.

“Susi tampak begitu sabar melayani lob-lob panjang, pertandingan yang sangat menegangkan Saudara-Saudara…”

Ketegangan terus berlanjut di seluruh Nusantara melihat pertandingan di televisi.

“Ayo Susiii…! Kamu bisa… “IN…DO…NE…SIA!”
“IN…DO…NE…SIA…!!!” Papa berteriak-teriak penuh semangat.

Gusni dengan senangnya ikut berteriak. “IN…DO…NE…SIA…! IN…DO…NE…SIA…! Gita lagi-lagi menoleh sesaat kebelakang, sebel melihat kelakuan Gusni. Papa dan Gusni ketawa cekikikan melihat Gita.

“IN…DO…NE…SIA…!” NGIK.
“IN…DO…NE…SIA…!” NGEK.

Gusni tambah semangat, berteriak sambil meloncat-loncat.

“Pemirsa di seluruh Nusantara! Sekali lagi inilah saatnya… pindah bola untuk Susi… apabila Susi Susanti berhasil meraih poin  maka bangsa ini akan mendapat medali emas pertama di olimpiade…sesuatu yang sudah kita tunggu hampir 35 tahun lamanya…”

Papa dan Gita menarik nafas panjang mendengar komentar pertandingan. Mama ikutan tegang. Sofa tua bernafas lega, rintihannya sudah tidak terdengar. Gusni sudah tidak meloncat-loncat lagi, ia duduk di samping Papa dan Mama, memperhatikan pertandingan dengan serius.

“Susi serve… lob dari Bang Soo Hyun… backhand Susi… dikembalikan lagi oleh Bang Soo Hyun.. drop shot lagi dari Susi!!!”

“AYO! SUSIII!!!”
Papa sampai hampir terlonjak dari duduknya saking tegangnya. Gita kaget dan menoleh ke Papa galak. Papa nyengir. Gusni mencibir lagi ke Gita.

“Masih bisa dikembalikan oleh Bang Soo Hyun… Susi mengajak rally lagi… drop shot Susi… masih bisa Bang Soo Hyun… mereka main bola-bola pendek sekarang… saudara-saudara sangat menegangkan… sangat menengangkan…”

Semua yang ada di ruang tamu menahan nafas, pertandingan final bulutangkis ini sangat menegangkan. Bukan hanya di rumah mungil ini, mungkin saat itu seluruh rakyat Indonesia diliputi ketegangan. Pertandingan yang akan berbuah emas pertama dari Olimpiade untuk Indonesia, hanya tinggal beberapa saat lagi jika Susi Susanti bisa memenangkannya. Untuk pertama kalinya Gusni melupakan kuenya yang masih ada di tangannya. Ia ikut terbawa ketegangan.

Beberapa kali Mama dan Gusni menutup wajahnya, pertandingan bulutangkis memang bisa sangat menegangkan, kok bulu angsa itu terbang ke sana kemari dengan cepatnya, semuanya akan berakhir begitu saja saat kok jatuh, kemenangan atau kekalahan semuanya hanya dalam hitungan detik. Papa beranjak ke depan televise, bersila di samping Gita. Mama memeluk Gusni, dengan mata yang tak berkedip menatap kok yang mesih berpindah-pindah dengan cepat. Susi Susanti terlihat sangat lelah, tetapi malam itu dari Sabang sampai Merauke tidak ada yang menyangsikan semangat Susi bertanding malam itu.

“… Bang Soo Hyun mengajak bermain bola-bola pendek lagi… bisa dikembalikan oleh Susi… bola tinggi… drop shot dari Bang Soo Hyun di depan net… dan jatuh dilapangan permainan Susi… SAUDARA-SAUDARA!!! OUT! KELUAR! OUT!!!”

Dan…

(Bersambung...)

nantikan kelanjutan ceritanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar